NIAS SELATAN, MIMBARBANGSA.COM – Kepercayaan Suku Nias sejak masa lampau menyimpan sejarah panjang yang menarik dikaji kembali, terutama mengenai keyakinan asli sebelum Injil masuk dan agama Kristen tersebar di wilayah Nias Selatan. Salah satu kata kunci dalam pemahaman spiritual orang Nias adalah Fanömba Adu atau Pelebegu, sebuah sistem kepercayaan yang telah berakar kuat pada tradisi masyarakat. Keyakinan ini tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga fondasi dalam perkembangan identitas religius masyarakat Nias hingga kini.
Secara historis, Pelebegu adalah sebutan yang diberikan oleh para pendatang dan berarti “penyembah roh”. Sementara itu, penganut asli lebih sering menyebut praktik mereka dengan istilah fanömba adu atau “penyembah berhala”. Mereka mempercayai bahwa roh nenek moyang memiliki peran penting dalam kehidupan, sehingga diwujudkan dalam bentuk patung kayu atau batu yang disebut adu. Patung-patung tersebut bukan sekadar simbol, tetapi dianggap sebagai medium meminta berkat, perlindungan, kesuburan tanaman, serta keberhasilan dalam memelihara hewan, terutama babi yang erat kaitannya dengan kehidupan adat.
Tradisi ini menggambarkan keyakinan mendalam pada konsep dewa pencipta, dewa penguasa alam atas dan bawah, serta kekuatan gaib yang diyakini bekerja melalui roh halus, alam, dan benda-benda tertentu. Ajaran leluhur ini diungkapkan melalui benda yang dapat disentuh dan dilihat, mulai dari patung kayu, mökö-mökö, pohon, sungai, angin, hewan, bahkan manusia. Setiap unsur dalam kehidupan memiliki makna spiritual dan diasosiasikan dengan kekuatan tertentu.
Menurut penjelasan Gulö, agama Suku Nias memiliki struktur kosmologi yang unik. Semesta atau makrokosmos diyakini diciptakan serta dipelihara oleh dua dewa utama. Sistem kepercayaan ini menempatkan beberapa dewa sebagai figur penting, yakni Lowalangi sebagai raja segala dewa di dunia atas, Lature Danö sebagai raja dunia bawah, serta Silewe Nasarata sebagai pelindung para ere atau pemuka agama. Ketiga tokoh spirituil ini membentuk inti ajaran fanömba adu yang sejak lama diwariskan turun-temurun.
Dalam perjalanan sejarah, nama Lowalangi kemudian mengalami transformasi besar ketika para misionaris memperkenalkan Injil kepada masyarakat Nias. Salah satu misionaris, Denninger, memilih menggunakan nama Lowalangi untuk menerjemahkan kata “Allah” dalam ajaran Kristen. Pemilihan ini dilakukan sebagai proses kontekstualisasi budaya agar penyebaran Injil mudah diterima oleh masyarakat lokal. Namun makna Lowalangi dalam Kekristenan berbeda secara fundamental dari pemahaman agama suku.
Seperti disampaikan oleh Dorkas O. Daeli dalam disertasinya, Lowalangi kini dipahami sebagai Allah Bapa yang sejati, bagian dari Allah Tritunggal: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Injil membawa terang baru yang menyinari kebudayaan, sehingga pemahaman lama tentang dewa penguasa dunia atas berubah menjadi pengakuan terhadap Allah yang hidup, berkarya, dan berfirman. Dengan demikian, istilah Lowalangi tetap dipakai, tetapi esensi kepercayaannya telah sepenuhnya ditransformasi sesuai ajaran Alkitab.
Selain itu, terdapat catatan menarik dalam tradisi lisan masyarakat Nias Selatan bahwa Lowalangi sebenarnya merupakan nama bungsu dari Raja Sirao, yang memenangkan sayembara perebutan tahta keluarga. Nama ini kemudian mendapatkan tempat penting dalam narasi keagamaan dan budaya Suku Nias, sehingga bertahan hingga sekarang sebagai penyebutan resmi bagi Allah dalam kekristenan lokal.
Melalui perjalanan panjang tersebut, terlihat jelas bahwa masyarakat Nias Selatan memiliki dinamika keagamaan yang kaya dan berlapis. Identitas religius yang berkembang saat ini merupakan hasil perpaduan antara ajaran leluhur dan pemahaman baru dari Injil yang masuk ke tanah Nias.

0Komentar